Saat ini malam semakin menunjukkan kesendiriannya. Malam yang riuh berganti lebih tenang. Semakin tenang. Dan sunyi. Aku memandang ke luar jendela dengan berbaring. Aku ingat aku pernah berkunjung ke sebuah kota terpencil. di sana sangat alami. Aku bisa mendengar suara rimbun pohon saling bertegur sapa. Suara sungai yang mengalir ramah. Alirannya nampak tenang namun cukup bergejolak. Alirannya memanjang seperti membelah kedua padang rumput. Lebarnya sekitar tiga meter atau lebih. Mungkin kurang. Aku pernah melepas sepatu saat benar-benar siang dan panas di sana.
Kemudian aku masukkan kaki ke air sungai itu. Sejuk sekali air sungai saat menyentuh dasar kakiku. Banyak kerikil di dasarnya. Aku dapat melihat kerikil-kerikil itu. Aku terbawa hanyut dalam kesejukannya. Ternyata lumayan dalam juga jika terus ke tengah. Mungkin seukuran leherku. Aku hanya bermain-main di tepi. Biasanya hingga kedalaman lima puluh centimeter. Waktu itu aku memakai rok pendek biru tua sehingga aku bisa menenggelamkan kakiku hingga lutut dan aku pun tersenyum saat menikmatinya.
Angin dari padang rumput di seberang sungai menyapu lembut syal tipis yang menggantung di leherku. Tidak ada tempat duduk. Yang ada hanyalah batu agak besar di bawah pohon yang lumayan besar juga. Aku sangat senang mendekati batu dan pohon itu. Mengelus permukaan batu yang halus itu kemudian ku singgahkan badanku di atasnya. Kadang aku duduk di rumput dan menyandarkan punggungku pada batunya. Tidak tentu. Semua peralatan yang ku bawa seperti tas, handphone, air minum, buku, dan pena selalu mendarat tak jauh di sampingku.
Pohon ini daunnya hanya sebesar kuku jari atau lebih besar. Namun sangat lebat. Ia memiliki banyak ranting dan dahan yang kuat. Burung-burung senang tinggal di sana. Aku bisa mendengar kicauan kecil anak-anak burung ketika duduk di sana. Daun-daun kecil dari pohon juga sering berjatuhan. Bisa kau rasakan seperti apa rasanya duduk di bawah pohon seperti ini? Aku yakin kau pun akan takjub bila berada di sini bersamaku. Di alam terbuka yang jauh dari riuh orang-orang.
Kadang aku juga mencium bau panas yang dibawa angin kering dari padang rumput di seberang sana. Di belahan padang rumput sebelah sana lebih sedikit pohonnya. Namun air sungai yang mengalir cukup deras itu dapat menetralkan angin panas yang datang dari sana sehingga aku dapat merasakan kesejukan yang seolah-olah ku rasakan seperti memeluk tubuhku di akhir angin itu berhembus. Aku sangat menyukai tempat serta suasana di sini.
Sebenarnya mudah sekali ke tempat ini namun aku tak tahu mengapa tak banyak yang datang atau mungkin mereka tidak mengetahui ada tempat seindah ini? Mungkin saja mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan atau tugas mereka masing-masing dan ketika tiba saatnya hari libur mereka lebih memilih berlibur yang pasti bukan ke tempat ini. Karena sering mendatangi tempat ini aku sering mengklaim ini adalah tempatku. Aku tersenyum setelah mengatakan itu. Aku hanya datang saat tertentu saja.
Bagaimana bisa aku mengatakannya, “tempatku.” Hihi, lucu rasanya saat aku mengingatnya. Tersadar aku tak pernah merawat tempat ini. Namun mereka tumbuh dengan subur dan terlihat bahagia, memanjakanku. Pohon-pohon yang besar. Ada yang berjajar, ada yang berjauhan. Rumputnya hijau muda nan sejuk. Sungainya mengalir dan alirannya memecah kesunyian di tengah padang ini.
Untuk menuju ke tempat ini aku biasanya memilih naik bus saat aku memang sedang membutuhkan teman. Aku lebih suka menyapa orang baru dan tersenyum pada mereka. Jika memang niatku ingin jalan-jalan kadang aku memilih menyetir mobil sendiri. Meski tak begitu suka dengan mobil namun aku harus menyetir sendiri. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar empat jam dengan bus. Namun jika aku menyetir sendiri dan jika aku beruntung tidak mendapat macet, dengan dua jam aku sudah bisa bersandar di batu di bawah pohon besar itu dan menikmati segala pemandangan alam di sana. Aku selalu senang mengingat tempat itu dan meluangkan waktu pergi ke sana.
Satu hal lagi, aku selalu tersenyum saat mulai berkemas jika ingin pergi ke sana. Setelah sampai di kota terpencil itu, aku akan memarkir mobilku tidak jauh dari desa. Aku mengenal satu warga desa di sana. Kebanyakan penduduk di desa itu selalu bersikap ramah saat aku datang. Mereka suka melempar senyum ketika aku datang. Menawarkan makanan padaku, menanyakan kabarku jika lama tidak berkunjung, berebut untuk menawarkan tempat singgah jika aku mau menginap. Kalian juga pasti akan senang bukan menerima perlakuan yang begitu baik dari mereka?
Bagiku tempat ini adalah surgaku. Mengingat dari siapa lagi aku bisa mendapat perlakuan seperti ini. Selama ini aku hidup sendirian. Waktu Ibu untukku hanya pada hari minggu dengan beberapa menit percakapan yang tidak mampu… Sudahlah. Ayahku jarang menemaniku sejak aku kecil, setelah aku dewasa Ayah berpulang. Saudara kandung aku pun tak punya. Semua sepupuku juga sibuk dengan pekerjaan mereka. Teman-temanku juga sudah sibuk dengan kehidupan baru mereka. Tak ada lagi sahabat yang selalu mendampingiku.
Satu-satunya temanku yaitu Nenekku. Aku sayang dengan Nenek. Nenekku seperti Ibuku. Nenek merawatku dari bayi hingga dewasa. Kami sering bercanda dan saling bercerita. Lucu rasanya ketika Nenek bercerita tentang saat ia didekati laki-laki waktu ia masih sekolah dulu. Saat ia mencuri makanan yang akan dibuat entah untuk apa oleh buyutku untuk dibawa ke sekolah. Aku dan Nenek saling berbagi. Nenek memberiku lebih dari apa yang Ibu berikan. Ibu tidak punya waktu sama sekali untuk memahamiku. Namun ia mengganti semua itu dengan kerja kerasnya. Membiayai semua kebutuhanku, untuk sekolah hingga kuliah.
Kembali pada tempat di sebuah desa di kota terpencil tadi. Aku masih melanjutkan ingatan ini karena… Sudahlah. Pertemuan yang mungkin sedikit klise di mata kalian. Hampir tiga bulan sekali aku berkunjung ke padang rumput itu. Waktu itu bulan Mei. Ada hujan turun di bulan Mei. Ya, tidak sering, hanya pada waktu tertentu. Aku biasanya menyanggul rambutku saat cuaca panas dan membiarkannya terurai saat cuaca sejuk. Saat itu aku benar-benar menghabiskan waktu di sana. Aku tiba di sana jam delapan pagi. Mungkin lebih lima belas atau tujuh belas menit. Namun, hingga sore pun aku masih di sana. Tempat itu benar-benar sepi. Tidak pernah ku lihat ada orang selain aku ketika aku menghabiskan waktuku di sana menulis cerita, bernyanyi, berbaring, bermain dan lainnya.
Sore itu air di botol minumku tinggal seteguk. Atau mungkin bisa ku teguk hingga tiga kali. Siang itu sangat cerah dan sedikit panas. Sekitar jam empat sore aku beranjak dari batu besar di bawah pohon itu. Aku melangkahkan kakiku maju mendekati tepi sungai. Cahaya senja seperti lampu kuning yang menambah romantisme alam di sini. Terbersit saja di pikiranku untuk menikmati aliran sungai ini mengalir di tubuhku. Aku tersenyum. Aku sangat yakin tidak ada orang di sini.
Aku menarik selendang tipis di leherku. Aku tahu selendang batik ungu milikku ini cukup lebar meskipun tipis. Aku menutup tubuhku dengan selendang. Aku tinggalkan rok pendek biru tua di tepi sungai. Juga kaos putihku di sana. Aku mendekati air sungai. Hmm.. aku tertawa kecil. Aku terus melangkahkan kakiku ke tengah sungai. Air sungai yang sejuk itu semakin ke atas dan membasahi tubuhku. Aku sangat menikmatinya.
Sudah cukup sepertinya aku berendam di sungai karena hawa sejuk berubah menjadi dingin. Aku naik ke atas dan kembali ke tepi sungai di padang rumput yang luas itu. Aku berangin-angin sejenak di sekitar hingga ku rasa cukup kering untuk kembali memakai pakaianku. Hingga aku menyadari sepertinya ada orang yang memperhatikanku di satu pohon yang lebih besar di sana. Mataku menangkap satu objek di atas pohon. Sepertinya ada rumah pohon di pohon yang lebih besar itu. Mengapa baru ku sadari? Tuhan.. betapa aku ingin tahu ada apa dan siapa di balik sana karena apa yang telah ku lakukan baru saja.
Sebenarnya aku hanya melihat rumah pohon itu. Namun, mungkin saja ada orang di sana. Belum kering benar tubuhku tapi ya sudahlah aku segera memakai kembali rok pendek biru tua serta kaos putihku. Rasa ingin tahuku untuk mengetahui ada apa dan siapa di balik sana terpaksa harus aku tunda. Aku memutuskan untuk menginap saja malam ini. Niatku untuk melangkahkan kaki mendekati dan melihat ada apa dan siapa di balik sana tidak ku lakukan.
Aku kembali mendekati batu besar di bawah pohonku. Menutup buku dan menutup penaku. Aku membuka tas dan memasukkan buku, pena, telepon genggam, dan botol minum ke dalam tas. Yah, satu lagi. Selendang. Aku putuskan membawanya saja karena aku tidak ingin membasahi tasku. Aku melangkah pergi menjauhi tempat itu. Aku berjalan melewati tepi sungai yang melawan arus. Ada tanjakan kecil seperti beberapa anak tangga di depanku. Waktu ku langkahkan kakiku pada anak tangga pertama, tiba tiba…
“Kamu ingin mencariku?” Suara seorang laki-laki memecah keheningan di akhir senja kala itu.
“Kamu ingin mencariku?” Suara seorang laki-laki memecah keheningan di akhir senja kala itu.
Aku dengan cepat membalikkan badan dan bibirku hanya terbuka dengan mata sedikit membelalak. Kedua alisku hampir bertemu. Apa yang harus aku katakan kalau tiba-tiba ada laki-laki desa menyapaku kemudian tersenyum kecil menatap mata ini tepat di hadapanku dengan sejarah aktivitas yang aku lakukan tadi? Aku melirik ke kiri bawah, mengarahkan pandanganku pada kakinya sambil menggigit bibir. Aku berpikir, aku harus berkata apa.
“Kamu…”
“Iya, rumah pohon itu buatanku. Tadi aku di sana. Aku melihat kamu di dalam sungai tapi percayalah aku tidak melihat lebih dari itu. Ngomong-ngomong suara kamu bagus dengan lagu tadi hingga membangunkanku.” Oke, laki-laki itu cukup menjawab kebingunganku.
“Mari pulang.” Ia menambahkan.
“Iya, rumah pohon itu buatanku. Tadi aku di sana. Aku melihat kamu di dalam sungai tapi percayalah aku tidak melihat lebih dari itu. Ngomong-ngomong suara kamu bagus dengan lagu tadi hingga membangunkanku.” Oke, laki-laki itu cukup menjawab kebingunganku.
“Mari pulang.” Ia menambahkan.
Aku hanya mengucapkan kata maaf dengan senyum kecut kepadanya. Aku juga memberitahunya bahwa ku pikir tidak ada orang selain aku yang suka mengunjungi tempat ini. Kami berdua berjalan bersampingan kembali ke desa. Aku menoleh ke arahnya. Kemudian aku tersenyum. Betapa pertemuan yang konyol.
ConversionConversion EmoticonEmoticon